Selasa, 14 Februari 2012

Bacalah cerita di bawah ini

TANTANGAN YANG KUATASI

aku merasa gugup saat duduk menunggu di ruang rumah sakit, tak yakin apa yang dikatakan Dr.Waites kepada orangtuaku tentang hasil uji itu. Dr. Waites adalah pelopor dalam mendiagnosis disleksia (gangguan bicara) perkembangan.
Semuanya dimulai saat aku pindah ke Dallas waktu kelas empat SD Aku ternyata ketinggalan dalam kemampuan membaca di Saint Michael's School. Saat diminta membaca dengan keras, aku sulit membaca beberapa kalimat. Guruku, Ibu Agwey mengatakan bahwa pemahamanku dalam membaca dan kemampuanku untuk mengucapkan kata-kata lebih rendah daripada kemampuan anak kelas empat lainnya. Aku takut setiap kali ia menunjukku untuk membaca karena meskipun aku mencoba sekeras mungkin, ia selalu harus membantuku membaca beberapa kata. Ibu agwey menyarankan supaya aku melakukan tes psikoogi untuk mengetahui apakan aku mengalami disleksia.
Pada awalnya aku bingung mengapa aku haus diuji. aku masuk ke kelas teladan di sekolah negeri yang dulu. Uji itu membuatku merasa tidak nyaman dan aku takut menjawab pertanyaannya, takut menghadapi kegagalan.
Hasil uji menunjukan aku mengidap disleksia perkembangan. Pada mulanya, aku patah semangat oleh diagnosis ini, tapi akhirnya aku membulatkan tekad untuk mengatasi cacatku ini. Aku memperoleh tutor dan terapi ucapan. Aku bahkan mencoba menkhlukkan cacat ini sendiri. Aku membaca buku-buku yang sulit, berharap dapat meningkatkan rasa percaya diriku. Aku mulai membaca dan memahami bacaan dengan lebih baik. Aku bahkan mulai suka membaca, yang terasa ironis karena dulu aku sangat membencinya.
Aku akhirnya berhasil mengatasi cacat belajarku. Dr. Waites meneguhkan ini saat aku diuji lagi. Ia berkata disleksiaku sekarang minimum. Aku senag sekali. Namun, meskipun aku menakhlukkan salah satu tantangan terbesar dalam hidupku, aku masih merasa ada yang hilang.
Mata rantai yang hilang terisi saat aku pertama kali mengenakan seragam bergaris dan berjalan kelorong rumah sakit sebagai relawan di rumah sakit yang sama tempat aku pernah duduk, gugup, dan bingung. Karena aku merasa begitu beruntung mendapatkan akses ke fasilitas yang telah begitu membantuku, aku ingin membalasnya dengan menjadi relawan.
Suatu hari, seorang gadis kecil di kursi roda memintaku membacakan buku untuknya. Aku membacanya lambat-lambat supaya ia dapat memahami cerita dan kata-katanya. Saat sudah waktunya aku pergi, anak itu berterimakasih kepadaku karena telah membaca untuknya. Aku keluar dari kamarnya sambil tersenyum lebar. Delapan tahun yang lalu aku pasti ragu membacakan buku untuk gadis ini, tapi aku sekarang percaya diri. Aku telah mengatasi cacatku dan membantu orang lain untuk mengatasi cacat mereka. Tekadku bulat untuk sukses dalam hidup ini, dan saat melakukannya, aku ingin membantu orang lain menghadapi dan menakhlukkan tantangan seperti yang telah kuatasi.

(Arundel Hartman Bell, diambil dari buku chicken soup for the teenage soul II)

 

1 komentar: